this is my blog! i can write everytin' bout my feel...
salam Elektro!
Pagi ini gw mau ngulas ape yang disebut dengan AUTISME. Kenapa? karena gw baru dapet bb, yang sebenernye paling gw hindari. coz dengan pake bb kita jadi mendadak autis, hahahahaha....
FAktanye, orang tuh kalo bbman suka kaga konsen sama orang yang ada di deppannye. Karena kalo ditanya jawabnye pasti.... HAH? HAH?, nah itu yang bikin gw bete en mo nulis tentang autisme.
tapi tulisan ini hanya untuk hiburan semata, bukan untuk melecehkan mereka-mereka yang terlahir dengan kondisi demikian.
Dan berikut adalah penjelasan menurut om WIKI
Autisme
Autisme | |
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal | |
salah satu kebiasaan buruk yang aneh yang dilakukan oleh orang autis, menumpuk - numpuk benda (kaleng). | |
ICD-10 | F84.0 |
ICD-9 | 299.00 |
OMIM | 209850 |
DiseasesDB | 1142 |
MedlinePlus | 001526 |
eMedicine | med/3202 ped/180 |
MeSH | D001321 |
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
- interaksi sosial,
- komunikasi (bahasa dan bicara),
- perilaku-emosi,
- pola bermain,
- gangguan sensorik dan motorik
- perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder).
Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
- Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
- Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
- Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
- Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
- Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified
(PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk
menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang
(Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth
with Disabilities (NICHCY)
di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah
gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan
gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang
bersifat neurologis
yang memengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan
kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi
pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap
pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
Diagnosis
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika
para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau
tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah
menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis.
Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga
menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting
sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman
bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana
hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman
sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali
juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah
merupakan atribut dari pola asuh
yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan
hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari
adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab
mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan
perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya
kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat
dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan
kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model
diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi
hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin
tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme
juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal
anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep
dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain
sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa
gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya
meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap
sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan
konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa
bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti
pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta
potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat
disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat
dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang
mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis
sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William
yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga
dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang
mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran
fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan
mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi
kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat
dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan
pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label
yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan
pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.
Simtoma klinis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun
tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari
adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang
berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak
tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak
responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya
(pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari,
menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat
ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri
maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan,
perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi
gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang
terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu
melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak
wajar terhadap informasi
sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya,
permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa
tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini
dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik
dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
- Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
- Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
- Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
- Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
- Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam
kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya.
Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa
lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan
tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak.
Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari
individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan
pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan
peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
- Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
- Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
- Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
- Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
- Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang
sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
- Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
- Kesulitan bermain dengan teman sebaya
- Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
- Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
- Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
- Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
- Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
- Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
- Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
- Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
- Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya.
Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan
dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan
autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal),
memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat
terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka
diklasifikasikan sebagai low functioning autism.
Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang
tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta
menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan
sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment
yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini
penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk
semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran
yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali
lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah
segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai
dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang
mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial –
Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi
bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes
secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
- Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
- The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
- The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
- The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain
yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap:
perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya.
Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang
terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting
dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri
dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Penanganan autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment
perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun
persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat
krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor
lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan
masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
- Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
- Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
- Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
- Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
- Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif?
Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua
dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan
dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi
anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji
dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul.
Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk
treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam
menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi
harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis,
misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang
komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi
Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur
yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa
treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk
mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada
orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target
tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
- Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang
tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis
terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi
gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data
ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih
orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit
membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak
variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya
hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya
untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat
tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara
statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi
harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya,
kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi
harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi
terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli
yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda
terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan
apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga
sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah
satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat
perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan
perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan
oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan
selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap
bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi
perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika
Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS,
diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian
dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari
Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil,
ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut
menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and
Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD
pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian
Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate
dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di
Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD.
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada
anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga
saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli
terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga
mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena
ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli,
meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak
yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura
pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab
autisme, yaitu:
- Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
- Chromosome 7 – speech / language chromosome
- Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya
dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di
atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil
penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena
orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai
keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di
Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari
Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar
biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme
diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per
500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf
bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan
terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia.
Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh
patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai
lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh
menyandang austime beserta spektrumnya?
Perkembangan penelitian Autisme
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations
(Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak
cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan
penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang
mereka janjikan (Lovaas,
1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang
memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan
target-target khusus lainnya, seperti:
- Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
- Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
- Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
- Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak
dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan
pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan
dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh
Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
- 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
- 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
- 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
- 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
- 2000s Litigation, school-based services
Jadi seperti itulah kawan, semoga para pengguna bb tidak jadi autis
No comments:
Post a Comment